-->

Tulislah kata kunci yang Anda cari, Enter

Refleksi Kritis Terhadap Pelaksanaan Sulingjar
author photo
By On
Refleksi Kritis Terhadap Pelaksanaan Sulingjar

Saya ingin memberikan ulasan yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan Sulingjar yang baru saja kita lakukan. Sebagai bagian dari yang dikatakan sebagai "kurikulum merdeka", program ini tentu berperan penting dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita mengakui bahwa tidak semua hal yang "terdengar merdeka" atau berbau reformasi selalu membawa dampak yang signifikan. Dalam kenyataannya, hasil dari Sulingjar ini belum tentu seindah teorinya.


Dengan gaya refleksi yang mungkin terdengar serampangan, saya ingin mengangkat dua poin utama yang bisa menjadi bahan pertimbangan kita ke depan—jika memang kita mau membuka mata lebih lebar dan melihat realitas yang ada.


Poin Pertama: EDS dan Metamorfosis Menjadi Sulingjar

Dulu, kita mengenal yang namanya Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Sistem ini dirancang untuk mengevaluasi kondisi lingkungan belajar sekolah secara mandiri. Sekarang, EDS telah bermetamorfosis menjadi Sulingjar (Survei Lingkungan Belajar), sebuah nama baru yang konon diharapkan bisa memberikan hasil yang lebih aktual dan relevan. Namun, meski sudah beberapa kali kita melaksanakan Sulingjar, apakah kita benar-benar melihat adanya perubahan signifikan di lingkungan belajar kita? Ataukah, Sulingjar hanya menjadi formalitas tanpa substansi yang berarti?


Sebelum kita melanjutkan, mari kita refleksikan apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sekolah yang kita cintai ini. Kondisi lingkungan belajar kita sebenarnya sudah kita kenal baik— dari fasilitas sarana dan prasarana (sarpras), metode pembelajaran, hingga sistem manajemen sekolah. Kita juga sangat paham dengan intake siswa kita dan tingkat dukungan dari orang tua. Realitanya, kita tahu bahwa dalam banyak aspek, lingkungan belajar kita berada di bawah standar. Jika menggunakan istilah dalam Kurikulum Merdeka, mungkin kondisi kita jauh di bawah apa yang diharapkan.


Sudah lama kita memahami kelemahan-kelemahan ini. Kita tahu betul apa yang perlu diperbaiki, namun mengapa perubahan tak kunjung datang? Apakah kita kekurangan sumber daya? Mungkin. Apakah kita kekurangan ide? Tentu tidak. Masalahnya adalah bagaimana solusi yang kita rancang tidak pernah dapat diimplementasikan dengan baik. Seolah-olah, kita sudah tahu penyakit yang diderita oleh sekolah kita, tapi obat yang kita pilih tidak pernah tepat. Oleh karena itu, penyakit ini terus berlarut-larut tanpa ada tanda-tanda kesembuhan.


Di sini, Sulingjar hanya mempertegas apa yang sudah kita ketahui. Sulingjar hanya berfungsi sebagai cermin yang memperlihatkan kondisi sekolah kita, tetapi belum cukup kuat untuk mendorong kita menemukan solusi nyata. Haruskah kita menyalahkan Sulingjar? Tidak. Yang perlu kita tanyakan adalah: Apakah kita benar-benar menggunakan hasil dari Sulingjar ini untuk memperbaiki diri? Atau kita hanya mengisi survei ini sebagai bentuk kewajiban, tanpa memikirkan apa yang bisa kita lakukan dengan hasilnya?


Poin Kedua: Sistem yang Memaksa dan Kejujuran yang Dipertanyakan

Seperti sistem lainnya, pelaksanaan Sulingjar juga bersifat mengikat. "Mau tidak mau", kita sebagai pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) harus mengikuti program ini, seperti halnya kita harus mengikuti perintah dari Kementerian Pendidikan untuk mengisi survei ini setiap tahunnya. Dari sudut pandang pemerintah, program ini tentu dianggap sangat baik. Dengan adanya Sulingjar, pemerintah bisa mendapatkan data yang lebih akurat mengenai keadaan lingkungan belajar di setiap sekolah. Namun, apakah data yang terkumpul benar-benar mencerminkan realitas?


Di sinilah masalah besar muncul. Sulingjar, seperti program evaluasi lainnya, sering kali diisi dengan "kebohongan yang disengaja"—kebohongan yang dilakukan secara "masif dan terstruktur", mirip seperti pemilu yang penuh dengan manipulasi data. Para pendidik mungkin merasa gengsi jika harus mengakui kelemahan sekolah mereka atau bahkan merasa takut jika nilai sekolah mereka terlihat buruk dibandingkan sekolah lain. Akibatnya, jawaban yang diberikan dalam Sulingjar sering kali tidak sesuai dengan realitas. Alih-alih menjadi alat yang bisa membantu pemerintah memahami kondisi sebenarnya, Sulingjar justru menjadi cermin yang kabur, tidak jujur, dan penuh dengan data yang menyesatkan.


Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa selama data yang dihasilkan tidak benar-benar mencerminkan realitas, tidak akan ada perbaikan yang nyata pula. Jika kita berbohong dalam evaluasi diri, bagaimana kita bisa berharap bahwa perubahan akan datang? Bagaimana mungkin sekolah kita bisa berkembang jika kita tidak pernah jujur mengenai kelemahan-kelemahan kita? Di sinilah titik kritisnya. Program evaluasi seperti Sulingjar sebenarnya bisa sangat bermanfaat jika dijalankan dengan jujur dan terbuka. Namun sayangnya, karena rasa takut dan gengsi, banyak sekolah, termasuk kita, lebih memilih untuk menutup-nutupi masalah daripada menghadapi mereka.


Renungan Akhir

Pada akhirnya, baik Sulingjar maupun EDS, keduanya hanyalah alat. Alat ini bisa menjadi sangat berguna atau justru tidak berarti apa-apa tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Jika kita hanya menganggap Sulingjar sebagai tugas administratif yang harus diselesaikan setiap tahunnya, maka jangan berharap ada perubahan yang signifikan. Tetapi, jika kita benar-benar memanfaatkan hasil Sulingjar untuk introspeksi dan merancang solusi yang relevan, maka perubahan bisa terjadi.


Namun, perubahan tidak akan pernah datang jika kita terus-menerus berbohong, baik kepada pemerintah, kepada diri kita sendiri, maupun kepada lingkungan sekolah kita. Kita harus berani menghadapi realitas, seburuk apapun itu, dan mencari cara untuk memperbaikinya. Tanpa keberanian untuk jujur, semua program evaluasi ini, entah itu EDS, Sulingjar, atau yang lainnya, akan menjadi sia-sia.


Sulingjar sebenarnya bisa menjadi refleksi yang sangat baik, jika kita mau menggunakannya dengan benar. Tapi di sisi lain, Sulingjar juga bisa menjadi ritual tahunan yang tidak lebih dari formalitas kosong jika kita tidak berani menghadapi kenyataan. Semoga, di masa depan, kita bisa lebih jujur dalam menilai diri sendiri dan lebih proaktif dalam mencari solusi yang tepat untuk memperbaiki lingkungan belajar di sekolah yang kita cintai ini.

Click to comment